
Jakarta – Perjuangan Agus Salim sebagai diplomat ulung Indonesia tercatat dalam sejarah dunia. Pada tahun 1947, ia berhasil menggagalkan klaim kolonial Belanda dalam sidang PBB. Keberhasilan ini memperkuat posisi Indonesia di mata internasional.
Agus Salim merupakan tokoh penting yang aktif memperjuangkan kemerdekaan. Ia berperan besar baik di dalam negeri maupun di panggung diplomasi luar negeri. Kiprah Agus Salim dimulai sejak menjadi anggota Panitia Sembilan BPUPKI, hingga akhirnya mewakili Indonesia dalam sidang Dewan Keamanan PBB.
Mengutip Ensiklopedi Pahlawan karya R. Toto Sugiarto, Agus Salim lahir di Kota Gadang, Agam, Sumatera Barat, pada 8 Oktober 1884. Nama aslinya adalah Mashadul Haq, yang berarti “Pembela Kebenaran”.
Sejak kecil, ia tumbuh di lingkungan yang berpendidikan. Agus Salim menempuh pendidikan formal di sekolah-sekolah Belanda. Ketekunannya membuatnya dikenal sebagai intelektual Muslim. Ia menguasai sedikitnya tujuh bahasa asing: Belanda, Inggris, Arab, Turki, Prancis, Jepang, dan Jerman.
Pendidikan dan Karier Awal
Pada usia 7 tahun, Agus Salim memulai pendidikan di Europese Lagere School (ELS). Ia kemudian melanjutkan ke Hoogere Burger School (HBS) di Batavia. Ia lulus dengan predikat terbaik di tiga kota: Surabaya, Semarang, dan Jakarta—semua dicapai saat ia baru berusia 19 tahun.
Karier pergerakannya dimulai pada awal 1930-an. Tahun 1915, ia bergabung dengan Sarekat Islam (SI) sebagai wakil di Volksraad (Dewan Rakyat), bersama tokoh seperti HOS Tjokroaminoto dan Abdul Muis. Pada tahun yang sama, ia juga menjadi Redaktur II di Harian Neratja.
Selain itu, ia mendirikan surat kabar Fadjar Asia dan menjadi Redaktur Moesetika di Yogyakarta. Pada 1919, bersama Seman, ia mendirikan Persatuan Konvoi Kaum Buruh. Organisasi ini menuntut agar Belanda membentuk Dewan Perwakilan yang benar-benar mewakili rakyat.
Agus Salim juga mengorganisasi pemogokan buruh di beberapa kota besar seperti Surabaya, Cirebon, dan Semarang.
Perjuangan Kemerdekaan dan Kiprah Diplomatik
Menjelang kemerdekaan Indonesia, Agus Salim ikut merancang Undang-Undang Dasar 1945 bersama Soekarno dan anggota Panitia Sembilan lainnya.
Setelah proklamasi, ia diangkat sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam Kabinet Sjahrir II dan III (1946–1947). Dari sini, karier diplomatiknya mulai bersinar di panggung internasional.
Pada 1947, Agus Salim mewakili Indonesia dalam sidang PBB di Lake Success, New York. Ketika itu, Indonesia menghadapi tekanan dari Belanda yang masih mengklaim wilayah bekas koloninya.
Meski kondisi internasional kurang menguntungkan, Agus Salim tampil cemerlang. Ia menyampaikan argumen yang meyakinkan negara-negara anggota PBB untuk mendukung Indonesia. Ia berhasil menggagalkan upaya Belanda mempertahankan kolonialismenya.
Berdasarkan buku Agus Salim: Peran dan Sumbangsihnya bagi Indonesia karya Yanuar Arifin, Agus Salim memperkuat diplomasi dengan menjalin hubungan dengan negara-negara Arab. Tujuannya adalah memperoleh pengakuan de jure atas kemerdekaan Indonesia.
Dukungan Dunia Arab dan Pengakuan Internasional
Negara-negara Arab memiliki pengaruh kuat di kancah internasional. Oleh karena itu, dukungan mereka sangat penting. Pada 10 Juni 1947, Indonesia dan Mesir menandatangani perjanjian persahabatan. Ini menandai pengakuan resmi pertama atas kemerdekaan Indonesia.
Setelah itu, Indonesia menjalin hubungan diplomatik dengan Lebanon (29 Juni 1947), Suriah (2 Juli 1947), Irak (16 Juli 1947), Arab Saudi (24 November 1947), dan Yaman (3 Mei 1948). Semua ini memperkuat posisi Indonesia di dunia internasional.
Belanda merespons dengan kemarahan. Namun, Indonesia sudah mengantongi dukungan dari banyak negara anggota PBB.
Agus Salim lalu memimpin delegasi Indonesia ke Amerika Serikat. Pada 10 Agustus 1947, mereka tiba di New York dan mengajukan tuntutan resmi kepada Dewan Keamanan PBB.
Di sana, Agus Salim bersama tokoh-tokoh seperti Sutan Sjahrir, Soedjatmoko, Charles Tambu, dan Sumitro Djojohadikusumo memperjuangkan hak kemerdekaan Indonesia. Mereka menyampaikan bukti eksploitasi oleh Belanda dan membangun opini internasional melalui diplomasi cerdas.
Hasilnya, PBB mengeluarkan resolusi yang mengecam aksi militer Belanda (21 Juli–5 Agustus 1947) dan menyerukan gencatan senjata.
Warisan Perjuangan Sang “Grand Old Man”
Agus Salim dijuluki The Grand Old Man karena peran besarnya dalam diplomasi meski usianya tak lagi muda. Ia memperlihatkan bahwa perjuangan tidak selalu dilakukan dengan senjata, tapi juga lewat kecerdasan dan diplomasi.
Kesimpulan
Perjuangan Agus Salim adalah contoh nyata dedikasi dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai diplomat ulung, ia mengangkat nama Indonesia ke panggung dunia. Ia juga berhasil menggagalkan upaya Belanda dalam mempertahankan kolonialisme.
Kisah hidup dan perjuangannya menjadi inspirasi bagi generasi penerus bangsa. Ia menunjukkan bahwa perjuangan bisa dilakukan dengan intelektualitas, strategi, dan komitmen yang kuat terhadap tanah air.
Leave feedback about this